Banyak hal yang berakhir baik dan mestinya ku syukuri, tapi kadang yang tidak—justru singgah di kepala lebih lama.
Pecah telor juga akhirnya nangis di tempat kerja, lebih tepatnya toilet (sayangnya tidak ada kloset duduk dengan air hangat, hanya ada air ngembeng dari kloset yang bocor). Kalau boleh ku putar balik, aku selalu gelisah di empat bulan terakhir setiap tahunnya. Entahlah, mungkin kekhawatiran akan segera menjumpai tahun dan umur baru? Padahal sejauh yang ku ingat, sejak menginjak usia 23 tahun tidak banyak hal yang terjadi, dan semuanya juga berlalu begitu saja (terlebih saat pandemi terjadi di 2020 silam). Tapi aku akui, bahwa ada hari di mana aku sangat amat bahagia dan punya segudang energi, tapi tak jarang juga aku meringkuk di kamar seharian sembari menangis.
Kembali pada topik, apa yang membuatmu menangis di kantor? yang jelas, dadaku terasa penuh dan sesak (terdengar sangat dramatis), mungkin efek sedang menstruasi? Atau banyak hal yang juga sulit dijelaskan dengan kata-kata—karena banyak faktor baik dari internal maupun eksternal yang mengguncang dan kemarin adalah puncaknya. Maka perjalanan ke rumah yang semestinya menyenangkan, menjadi begitu kelabu. Maka memilih perjalanan pulang bersama orang-orang asing jadi lebih menenangkan. Perjalanan Jakarta-Bogor sore kemarin terasa begitu gelap, hujan deras, dengan angin, dan petir yang menyambar menambah penuh isi kepala.
Dalam hidup kita selalu berdoa untuk dipertemukan dengan orang-orang baik, atau bila itu semua itu terdengar ngoyo, setidaknya kuatkanlah hati dan pundak kita untuk menghadapinya. Atau dalam jangka panjang—jangan jadikan aku perlahan berubah menjadi bagian dari orang-orang, yang aku dan orang lain tak ingin jumpai dalam hidup. Tapi kebanyakan kasusnya aku (tanpa sadar) memproyeksikan kebahagiaanku pada orang lain, berkekspektasi, berharap, lalu apa akhir yang terjadi kalau bukan kecewa?
Bisa aku katakan bahwa aku seharusnya bahagia dengan semua hal yang sejauh ini bisa ku raih, dan ku dapatkan, menjumpai orang-orang yang secara umum baik dan mungkin beberapa juga a****le, tapi bagaimana bila pada satu titik di hidup kita menjadi begitu tidak bahagia? di sisi lain punya tendensi ketakutan untuk terlalu-bahagia dan tidak diinginkan, juga merasa kecil? walau tidak melulu, namun ada episode seperti itu dalam hidup yang bahkan (bisa dibilang) flat-flat saja.
Gambar di atas di kutip dari salah satu buku yang on-going ku baca dari Haemin Sunim dalam "The Things You Can See Only When You Slow Down", terlepas dari kontroversi penulisnya—tapi bisa ku bilang bahwa buku ini turut membantuku yang ternyata masih struggling di umur 25 (dan apakah segala drama hidup akan berakhir setelah 25? gak tau). Aku juga sedang membaca buku Menjadi milik Afutami, namun baru sampai beberapa halaman awal, rencananya akan coba ku habiskan saat libur tahun baru.
Mencoba menuliskan hal-hal yang megusik turut aku gunakan kembali sebagai media dalam mengelola emosi, setidaknya saat sulit berbicara pada orang lain menuliskan hal itu membantuku berbicara pada diriku sendiri.
No comments:
Post a Comment