Di tengah kejaran deadline (yang dibikin-bikin sendiri) pasti saya selalu kepikiran sebuah ide untuk nulis lagi di blog ini, semalam saya kesulitan tidur karena sempat tidur siang dan terjaga hingga dua pagi, itulah mengapa saya kurang suka konsep tidur siang.
Di tengah waktu kesulitan tidur itu, saya teringat celetukan teman saya waktu kami sedang jalan bersama, "Nad kenapa sih suka jalan di belakang?", saya kebingungan menjawab dan tersadar "loh iya juga, kenapa ya?". Biasanya kalau kami jalan kaki secara rombongan saya punya kecenderungan untuk memperlambat langkah supaya posisi saya berada di paling belakang.
Punggung,
Punggung iya saya suka memerhatikan punggung orang dan untuk melihatnya saya perlu berada di posisi paling belakang, tanpa saya sadari beberapa hasil jepretan ngasal saya juga banyak menampakkan punggung baik orang yang saya kenal atau sekedar stranger yang berlalu lalang.
Bicara soal punggung, filosofi punggung itu menjadi salah satu chapter favorit yang saya baca berulang kali dalam buku Rectoverso, Dewi Lestari (2008), cerpen itu berjudul "Hanya Isyarat", salah satu kutipan favorit saya pada chapter ini:
Aku sampai dibagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan beruapa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
Kalau ada pengalaman dalam hidup yang bisa diulang, saya ingin salah satunya adalah kenyamanan dan ketenangan membaca buku tanpa merasa gelisah untuk berulang kali melihat gawai. Ia menjadi perasaan terindah kala itu, tepatnya waktu saya duduk di sekolah menengah atas, buku membuat saya berlari dari kenyataan atau lebih tepatnya angka-angka kompleks yang membuat saya merinding. Masa sekolah menengah atas tidak sepenuhnya buruk karena dari sanalah penemuan saya tentang karya-karya Dee terjadi, pada sebuah bazar buku Gramedia di halaman sekolah waktu penerimaan raport. Hmm, kok aku jadi melantur, namun aku ingin memberi background story dulu pada suatu yang aku kagumi. HEHE.
Kembali ke punggung, waktu membaca cerpen hanya isyarat, rasanya kena sekali, karena saya juga lagi segitu desperate-nya suka sama orang, rasanya mustahil sekali ada di sebelahnya dan apa yang bisa saya lihat selain punggungnya (yang semakin menjauh di tengah keramaian).
Bagi saya pribadi dulu, punggung seolah mengisyaratkan perpisahan dan pelepasan (in a good way ya, kayak aku ikhlas kamu pergi, paham gak? hihu), menjadi sebuah jalan membiasakan diri untuk tidak selalu bersandingan. Sadar gak waktu kita melepas seseorang entah itu di bandara, terminal, atau stasiun yang terlihat dari kejauhan itu hanya punggungnya. Setelah punggung itu tidak terlihat, perlahan kita juga memutar langkah untuk pergi.
Tapi lambat laun saya juga melihat ada kehangatan di sana, punggung itu bisa untuk disandari bukan melulu soal kesanggupan untuk digapai. Tulang punggung yang menyangga dan menjaga, pikirku bila kita bertemu seseorang yang tepat ia akan memperlambat langkahnya supaya kita bisa sama-sama sejajar dan setara.
No comments:
Post a Comment