Di tengah kejaran deadline (yang dibikin-bikin sendiri) pasti saya selalu kepikiran sebuah ide untuk nulis lagi di blog ini, semalam saya kesulitan tidur karena sempat tidur siang dan terjaga hingga dua pagi, itulah mengapa saya kurang suka konsep tidur siang.
Di tengah waktu kesulitan tidur itu, saya teringat celetukan teman saya waktu kami sedang jalan bersama, "Nad kenapa sih suka jalan di belakang?", saya kebingungan menjawab dan tersadar "loh iya juga, kenapa ya?". Biasanya kalau kami jalan kaki secara rombongan saya punya kecenderungan untuk memperlambat langkah supaya posisi saya berada di paling belakang.
Punggung,
Punggung iya saya suka memerhatikan punggung orang dan untuk melihatnya saya perlu berada di posisi paling belakang, tanpa saya sadari beberapa hasil jepretan ngasal saya juga banyak menampakkan punggung baik orang yang saya kenal atau sekedar stranger yang berlalu lalang.
Bicara soal punggung, filosofi punggung itu menjadi salah satu chapter favorit yang saya baca berulang kali dalam buku Rectoverso, Dewi Lestari (2008), cerpen itu berjudul "Hanya Isyarat", salah satu kutipan favorit saya pada chapter ini:
Aku sampai dibagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan beruapa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.