Sejak bertahun-tahun lalu saya harusnya sudah menyerah, mengalah, dan tidak lagi memaksakan. Tapi dahulu hati ini terlalu kekanakan, ia tak bisa diajak berkompromi—padahal ia tahu, yang setelahnya akan bertubi-tubi lebih sakit daripada menyerah. Tapi seperti pemiliknya, hati itu penuh penasaran, rasa ingin berpetualang. "coba saja dulu, kita tidak pernah tahu kalau kita tidak pernah mencoba"—bisik pemilik pada hatinya, keduanya seolah yakin dan optimis kalau semua hal selalu punya penyelesaian.
Sampai ia tiba pada stasiun, menaiki kereta takdir yang mengangkutnya pergi jauh dari pelabuhan hatinya. Sepanjang perjalanan ia hanya menunggu, mencari-cari bahu lebar yang selalu senang ia pandangi dari belakang, tapi tak kunjung ada, sepasang mata dan senyum yang meneduhkan (apalagi tak kunjung ia temukan dalam kerumunan). Si hati dan pemiliknya gusar, terus saja memandang ke luar jendela, pelan tapi pasti—optimisme yang ia bawa mulai terkikis seiring jarak yang kereta takdir itu tempuh sedari meninggalkan pelabuhannya.
Ia sampai pada pemberhentian untuk menekuri rasa penasarannya, ia mencari pemilik bahu, sepasang mata dan senyum yang meneduhkan dalam terowongan dan perempatan—kesana-kemari mereka mencari, tapi semua gelap. Hanya ada orang asing disana-sini. Ramai rasanya, tapi hati dan si pemilik merasa sangat kesepian.
Ia kecewa bukan main, matanya mulai dipenuhi kabut kelabu—langit turut menjadi abu dan rintik-rintik hujan menjadi kamuflase bulir air mata yang pelan-pelan turun.
Ia pulang dengan hampa. Kembali pada stasiun, dan menaiki kereta takdir menuju pelabuhannya.
Lalu ia menyadari, ada hal-hal yang memang dibiarkan tidak selesai, tak semua hal berakhir semanis buku yang ia baca, drama yang ia tonton.
Padahal kalau ia berhasil bertemu pada pemilik sepasang mata dan senyum yang meneduhkan itu,
ia hanya mau bilang "saya rindu padamu, sangat rindu".
No comments:
Post a Comment