Monday, July 16, 2018

dari Selatan Jakarta

(I)
dari Selatan Jakarta
saya pandangi matamu lekat-lekat
ada banyak kata yang tak terucap
matamu hanya lari ke jendela
gelas saya yang mengepulkan asap, pelan-pelan menenang
padahal
jam kita terus berdetak

(II)
cetak..cetik...dari samping ada yang mengetik
di belakangmu ada laki-laki dan perempuan yang merokok tak henti-henti dalam perbincangan
ada pula keluarga kecil yang tertawa sambil makan es krim

(III)
orang-orang di sekitar makin bising
semua terasa makin kencang;
bukan..bukan... karena mereka yang nyaring
tapi kita yang tak mau bersuara
aku diam
kamu diam
kita makin kelam
ditelan lekatnya malam

Magang

Sebagai salah satu pemenuhan mata kuliah 3 sks saat ini saya dan teman-teman angkatan sedang magang di salah satu lembaga pemerintahan. Tentunya kita seangkatan sangat antusias menyambut permagangan ini, karena magang menjadi  highlight paling menarik yang senior kami seringkali ceritakan. Ada yang berakhir indah, ada pula yang biasa saja selama magang ini. Beberapa minggu ini saya belajar banyak, mungkin bukan sekedar urusan substantif—pengaplikasian segala teori politik yang ada di kelas lalu saya implementasikan dalam proposal magang. 
Tapi, magang ini jelas menampar saya bahwa menjadi mahasiswa sangat amat berbeda dengan pekerja; "seperti inilah dunia kerja—kamu bisa jadi makhluk paling berharga bagi orang tuamu di rumah. Tapi di tempat kerja kamu hanyalah dirimu, entah kamu memiliki nama belakang atau tidak (ya mungkin dengan nama belakang "sedik" mudah...Tapi kamu adalah dirimu sendiri". 
Saya mengerti kenapa sebagian orang bilang—atau kebanyakan menyatakan bahwa menjadi mahasiswa lebih berharga, ketimbang setelah lulus. Mahasiswa bisa jadi adalah kesombongan terakhir yang saya punya, sebelum nanti akhirnya gelar sarjana nimbrung di belakang nama saya. Di kampus kita bisa meneriakkan ketidaksukaan kita, mengkritik, mengadvokasi, menjadi yang paling budiman, ikut empati pada penderitaan orang sekitar. Hal ini akan jauh berbeda saat kita bekerja, langkah kita musti hati-hati, akan banyak pertimbangandan kepatuhan menjadi hal yang kita dahulukan.
Mengutip kata Tan Malaka "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda".  Entahlah kehidupan di kampus itu sangat melenakan, pun ada yang jahat saya bisa menghindar. Tapi realita yang ada kan tidak seperti itu.

 ketakukan terbesarku perlahan menghilang, tapi tahun-tahun yang lalu aku menyadari bahwa aku mencarimu di setiap orang sekarang hatiku dipe...