"Saat mengamini suatu, dan yakin bahwa bisa melampaui ini, ia benar dan patut—di situlah saya mulai diuji".
Beberapa hari ke belakang rasanya bagai didentum dan dipukuli berkali-kali oleh perasaan sendiri. Rasanya lelah menangis dan marah berulangkali, kalau saya memang sedang rapuh—serapuh-rapuhnya, tapi ini sudah salah, saya mulai yakin tak ada pula yang mau menadahi. Ekspektasi dan rasa cinta itu bukan dua hal yang bisa diajak berteman, cinta pada orang yang salah, waktu yang salah, dan tempat yang salah. Padahal saya sudah acap kali berdoa dan minta padaNya, bahwa apa yang saya amini dan yakini untuk ia agar saya mampu melampauinya, tapi pada masa krisis ini pelan-pelan keinginan untuk mengamini pudar juga. Mungkin itu caranya Tuhan menjawab dan menguji. Pelan tapi pasti, ia pudar dimakani realita. Saya tempuh perjalanan panjang untuk mengakhiri dekade lalu, mencari yang baru—tapi ekspektasi memang sebuah hal paling sialan yang enggan saya angankan lagi. Setiap kali dipertemukan pada tiap persimpangan, rasanya hanya ingin berhenti, mengulang kembali. Sadar betul, bahwa jiwa itu memang miliknya banyak—tak hanya punya saya, tapi punyanya, punya mereka juga. Jadi lagi, nanti pada satu waktu—kalau saya terpaksa sendiri, saya cuma mohon jangan (pernah) kecewa lagi.
No comments:
Post a Comment