senyum adalah kamuflase
tawa adalah rekayasa kepedihan
perbincangan adalah basa-basi yang tak mau diakhiri
Tuesday, December 05, 2017
Monday, December 04, 2017
Tahun yang mengikis
Sejak bertahun-tahun lalu saya harusnya sudah menyerah, mengalah, dan tidak lagi memaksakan. Tapi dahulu hati ini terlalu kekanakan, ia tak bisa diajak berkompromi—padahal ia tahu, yang setelahnya akan bertubi-tubi lebih sakit daripada menyerah. Tapi seperti pemiliknya, hati itu penuh penasaran, rasa ingin berpetualang. "coba saja dulu, kita tidak pernah tahu kalau kita tidak pernah mencoba"—bisik pemilik pada hatinya, keduanya seolah yakin dan optimis kalau semua hal selalu punya penyelesaian.
Sampai ia tiba pada stasiun, menaiki kereta takdir yang mengangkutnya pergi jauh dari pelabuhan hatinya. Sepanjang perjalanan ia hanya menunggu, mencari-cari bahu lebar yang selalu senang ia pandangi dari belakang, tapi tak kunjung ada, sepasang mata dan senyum yang meneduhkan (apalagi tak kunjung ia temukan dalam kerumunan). Si hati dan pemiliknya gusar, terus saja memandang ke luar jendela, pelan tapi pasti—optimisme yang ia bawa mulai terkikis seiring jarak yang kereta takdir itu tempuh sedari meninggalkan pelabuhannya.
Ia sampai pada pemberhentian untuk menekuri rasa penasarannya, ia mencari pemilik bahu, sepasang mata dan senyum yang meneduhkan dalam terowongan dan perempatan—kesana-kemari mereka mencari, tapi semua gelap. Hanya ada orang asing disana-sini. Ramai rasanya, tapi hati dan si pemilik merasa sangat kesepian.
Ia kecewa bukan main, matanya mulai dipenuhi kabut kelabu—langit turut menjadi abu dan rintik-rintik hujan menjadi kamuflase bulir air mata yang pelan-pelan turun.
Ia pulang dengan hampa. Kembali pada stasiun, dan menaiki kereta takdir menuju pelabuhannya.
Lalu ia menyadari, ada hal-hal yang memang dibiarkan tidak selesai, tak semua hal berakhir semanis buku yang ia baca, drama yang ia tonton.
Padahal kalau ia berhasil bertemu pada pemilik sepasang mata dan senyum yang meneduhkan itu,
ia hanya mau bilang "saya rindu padamu, sangat rindu".
Monday, February 20, 2017
Monday, February 06, 2017
at Pedder Bay
"Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mencari lilin, mencari obor. Hidup ini selalu saja gelap. Aku mencari dan mencari, hingga ke Pedder Bay. Hingga ke ujung bukit Victoria. Dan tiba-tiba aku baru menyadari, di mana pun aku berada, selalu ada Tara." —leila s chudori, hal 267
Saturday, January 07, 2017
balkon rumah
Nyatanya 'kenapa', dan 'penyesalan', selalu muncul dari apa-apa yang kita cintai.
P'ribahasa itu tak pernah salah ekspektasi selalu membawa kecewa, mencintai apa-apa berlebihan itu juga tak usah.
Friday, January 06, 2017
Hanya Isyarat
"Aku
sampai dibagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya
mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup
kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang
yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari
bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya
bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang
yang selamanya harus dibiarkan beruapa sebentuk punggung karena kalau
sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa." (Rectoverso)
Subscribe to:
Comments (Atom)
ketakukan terbesarku perlahan menghilang, tapi tahun-tahun yang lalu aku menyadari bahwa aku mencarimu di setiap orang sekarang hatiku dipe...
-
Di tengah kejaran deadline (yang dibikin-bikin sendiri) pasti saya selalu kepikiran sebuah ide untuk nulis lagi di blog ini, semalam saya k...
-
"Kalau ditanya apa yang terjadi tahun ini, aku kebanyakan lupa". Siapa sangka memulai tahun ini dengan tergopoh-gopoh justru memb...
-
Banyak hal yang berakhir baik dan mestinya ku syukuri, tapi kadang yang tidak—justru singgah di kepala lebih lama. Pecah telor juga akhirnya...