Thursday, November 01, 2018

kalut

"Saat mengamini suatu, dan yakin bahwa bisa melampaui ini, ia benar dan patut—di situlah saya mulai diuji".


Beberapa hari ke belakang rasanya bagai didentum dan dipukuli berkali-kali oleh perasaan sendiri. Rasanya lelah menangis dan marah berulangkali, kalau saya memang sedang rapuh—serapuh-rapuhnya, tapi ini sudah salah, saya mulai yakin tak ada pula yang mau menadahi. Ekspektasi dan rasa cinta itu bukan dua hal yang bisa diajak berteman, cinta pada orang yang salah, waktu yang salah, dan tempat yang salah. Padahal saya sudah acap kali berdoa dan minta padaNya, bahwa apa yang saya amini dan yakini untuk ia agar saya mampu melampauinya, tapi pada masa krisis ini pelan-pelan keinginan untuk mengamini pudar juga. Mungkin itu caranya Tuhan menjawab dan menguji. Pelan tapi pasti, ia pudar dimakani realita. Saya tempuh perjalanan panjang untuk mengakhiri dekade lalu, mencari yang baru—tapi ekspektasi memang sebuah hal paling sialan yang enggan saya angankan lagi. Setiap kali dipertemukan pada tiap persimpangan, rasanya hanya ingin berhenti, mengulang kembali. Sadar betul, bahwa jiwa itu memang miliknya banyak—tak hanya punya saya, tapi punyanya, punya mereka juga. Jadi lagi, nanti pada satu waktu—kalau saya terpaksa sendiri, saya cuma mohon jangan (pernah) kecewa lagi.

Wednesday, September 26, 2018

Akhirnya datang juga

Dalam beberapa bulan ke depan sedang mengejar entah 31 halaman atau 59 halaman, entahlah lagi bilang pada diri sendiri. Sekedar memenuhi target halaman, secukupnya
Atau sepenuh hati biar senang, saat di kenang nanti

Monday, August 20, 2018

the Cafe

"He said that they never change anything about this place. Instead, they maintain it as best that they could. When something breaks, they fix it. They don't change anything, they don't replace anything, they don't throw anything away." 
"Why?" 
"Because they want this place to be like love at first sight. You could leave the place, you could go away for a long time, but when you return, it will be exactly as you remember it. This place is a moment, untouched by time, unknown to pain."
"a moment?"
"yes, a moment. You know when you're experiencing a moment, and it feels endless—and it endless because it will exist within you forever."

Imaginary City -The Cafe, p. 88
rain chudori 

Monday, July 16, 2018

dari Selatan Jakarta

(I)
dari Selatan Jakarta
saya pandangi matamu lekat-lekat
ada banyak kata yang tak terucap
matamu hanya lari ke jendela
gelas saya yang mengepulkan asap, pelan-pelan menenang
padahal
jam kita terus berdetak

(II)
cetak..cetik...dari samping ada yang mengetik
di belakangmu ada laki-laki dan perempuan yang merokok tak henti-henti dalam perbincangan
ada pula keluarga kecil yang tertawa sambil makan es krim

(III)
orang-orang di sekitar makin bising
semua terasa makin kencang;
bukan..bukan... karena mereka yang nyaring
tapi kita yang tak mau bersuara
aku diam
kamu diam
kita makin kelam
ditelan lekatnya malam

Magang

Sebagai salah satu pemenuhan mata kuliah 3 sks saat ini saya dan teman-teman angkatan sedang magang di salah satu lembaga pemerintahan. Tentunya kita seangkatan sangat antusias menyambut permagangan ini, karena magang menjadi  highlight paling menarik yang senior kami seringkali ceritakan. Ada yang berakhir indah, ada pula yang biasa saja selama magang ini. Beberapa minggu ini saya belajar banyak, mungkin bukan sekedar urusan substantif—pengaplikasian segala teori politik yang ada di kelas lalu saya implementasikan dalam proposal magang. 
Tapi, magang ini jelas menampar saya bahwa menjadi mahasiswa sangat amat berbeda dengan pekerja; "seperti inilah dunia kerja—kamu bisa jadi makhluk paling berharga bagi orang tuamu di rumah. Tapi di tempat kerja kamu hanyalah dirimu, entah kamu memiliki nama belakang atau tidak (ya mungkin dengan nama belakang "sedik" mudah...Tapi kamu adalah dirimu sendiri". 
Saya mengerti kenapa sebagian orang bilang—atau kebanyakan menyatakan bahwa menjadi mahasiswa lebih berharga, ketimbang setelah lulus. Mahasiswa bisa jadi adalah kesombongan terakhir yang saya punya, sebelum nanti akhirnya gelar sarjana nimbrung di belakang nama saya. Di kampus kita bisa meneriakkan ketidaksukaan kita, mengkritik, mengadvokasi, menjadi yang paling budiman, ikut empati pada penderitaan orang sekitar. Hal ini akan jauh berbeda saat kita bekerja, langkah kita musti hati-hati, akan banyak pertimbangandan kepatuhan menjadi hal yang kita dahulukan.
Mengutip kata Tan Malaka "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda".  Entahlah kehidupan di kampus itu sangat melenakan, pun ada yang jahat saya bisa menghindar. Tapi realita yang ada kan tidak seperti itu.

Thursday, June 07, 2018

purnaku

denting ku pagi,
menari-nari
dibarengi
gemericik suara air
....
kadang rasanya sudah purna
kendati hidup
tapi telah redup

hanya gelap
dalam lorong lorong sesak

 ketakukan terbesarku perlahan menghilang, tapi tahun-tahun yang lalu aku menyadari bahwa aku mencarimu di setiap orang sekarang hatiku dipe...