Saturday, August 08, 2020

tentang nanti dan (mungkin) nanti


Sejak beberapa bulan terakhir kata "nanti" menjadi begitu sering kita dengar, ia selalu terlibat dalam satu percakapan ke percakapan lainnya, menjadi penghubung (atau justru jadi penghalang, entah) tiap kalimat pada dialog kita

"Iya nanti ya ketemu, kalau udah selesai semua", 
"Liat ntar yak (lihat nanti yah)", 
"Iya nanti habis pandemi ya", lalu tersenyum getir. 

Dulu waktu saya kecil saya selalu percaya nanti itu sebuah kata pasti atau setidaknya 99 persen akan terwujud—tapi makin ke sini "nanti" terlihat semakin mengerikan. Nanti menjadi abu-abu. Nanti seolah menegaskan ketidakpastian, entah masih ada hari esok atau tidak, entah masih ada waktu untuk berjumpa atau mungkin—seseorang sudah sampai di perhentiannya. 
Nanti yang jadi selamanya, nanti yang tak kamu kira-kira. 
Nanti yang akan ku doakan—semoga ia setidaknya manis, merekah. Lebih baik lagi merona bersama kabar baiknya. Iya semoga.
 

Monday, August 03, 2020

tiup lilinnya

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya" begitu ku dapati suaramu dibarengi tepuk tangan yang antusias dari seberang meja. Aku tersenyum, mendekatkan kedua tanganku dan berdoa, setelahnya langsung meniup lilin itu. Bersamaan sisa-sisa asap dari api lilin—kamu kembali bertanya "tadi berdoa apa?". Aku diam sebentar dan menjawabmu, "doa buat gue lah, biar bahagia terus, haha", aku bohong lagi, batinku. Ia tertawa kecil, "ya baguslah kalo gitu, siapa lagi coba yang doain lo—kalo bukan diri lo sendiri?", kami tertawa sejenak.

Ada jeda panjang diantara obrolan kami, aku banyak diam dan berpikir, aku yakin ini hari yang tepat untuk bilang tentang rahasiaku. Saat aku buka suara, "gue mau ngomong", di saat yang sama "eh gue mau bilang", serentak suara kami berkejaran, tumpang tindih. 
Aku bilang padanya "lo dulu deh", dia bilang "oh oke kalo gitu". 

"Bulan depan gue married!", ia berapi-api matanya berbinar, sambil mengeluarkan undangan itu, warnanya broken white dengan ornamen bunga-bunga di sekelilingnya. 
beberapa detik aku sempat terpaku, lalu ku bilang padanya sambil menjabat tangannya dan mencoba mengontrol ekspresiku "selamat...gue tau lo akan jadi sama dia, kalian cocok banget! so happy for you, kalo gak berhalangan gue pasti dateng". 
"thanks, ya kali lo ga dateng? btw, tadi mau bilang apa?"
"eh..tadi gue mau ngomong apa ya? anjir lupa gue, gue seneng banget denger kabar lo... sampe lupa tadi mau ngomong apa?" timpalku. 
"aneh kebiasaan kalo ngomong setengah-tengah", ia melihatku sebal. 
"bakalan gue chat kalo gue udah inget".

Setelahnya aku menghindari banyak perbincangan tentang diriku, memusatkan perbincangan kami padanya. Aku terus tersenyum "ini hari ulang tahunku kan?" aku ulang-ulang kalimat itu dalam kepala. Ku fokuskan pikiranku dengan memori-memori bahagia. 
Dua jam menuju pergantian hari, aku memutuskan pamit, "eh balik ya? ini ada urusan di rumah, sorry". 
"eh Cinderella banget lo sekarang?" (salah satu karakter putri Disney, yang harus pulang tepat sebelum 12 malam)
Aku bergegas dan merapikan barangku, cake yang ia bawa sudah habis dimakan dan dibagi-bagi ke orang-orang sekitar kami, "pamit ya, bye! baik-baik sampai hari-h". 
---
Aku seret langkah kakiku secepat mungkin untuk keluar. Ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu, kemudian bayangan lilin ulang tahun itu muncul. Iya, aku seperti lilin itu, kabar baik yang ia bawa meniup atau lebih tepatnya mematikan api lilinku. Aku seperti diguyur air dingin tiba-tiba tanpa diberi aba-aba, aku menggigil. 
Ku peluk erat diriku, benar katanya tak ada yang mendoakanku selain diriku sendiri. Tadi sebelum ku tiup lilinnya, aku berdoa untuknya, "Tuhan, tolong sempatkan waktumu tiap harinya untuk menengok dan menjaga manusia di hadapanku ini". 

---
Aku terdiam, lalu ada mobil berhenti tepat di sampingku. Aku naik lalu menutup pintu mobil, mari pulang, taksiku sudah datang.

-



terinspirasi dari cerita temanku dan drama yang ku tonton.

Sunday, August 02, 2020

sebelum pergi

sebelum pergi dari rumah, ritualku adalah memastikan bahwa kompor sudah dimatikan, listrik-listrik yang tak ku gunakan sudah padam atau kabelnya sudah terlepas dari steker, dan rumah sudah dikunci sebagaimana ia semestinya. ritual itu ibuku yang ajarkan, satu kali rumah kami pernah kemalingan—karena kakakku lupa menggembok pagarnya dari dalam, beberapa penghargaan berupa emas batangan milik ayahku dari hasil kerjanya selama dua windu hilang tak berbekas, sejak saat itu kakakku merasa bersalah dan tak pernah sekali pun meninggalkan rumah tanpa berkali-kali mengecek apakah kuncinya sudah terpasang dengan benar atau rumahnya sudah tergembok dari dalam, ia akan menanyaiku berkali-kali "udah dikunci/dicek semuanya?", "ini coba diliat, ada yang ketinggalan gak?".
dua kali rumah kami juga pernah hampir kebakaran, pertama saat lebaran, setelah pulang sholat Ied tiba-tiba aku mencium bau obat merah yang sangat kuat, aku hanya bertanya pada ibu apakah ada yang terluka? tapi ternyata itu adalah sebuah tanda, ada plastik yang terbakar, setengah tembok di dekat partisi untuk memajang foto dan menaruh telpon hangus. sebabnya ayahku membeli alat penurun watt listrik yang tak jelas juntrungannya, alat yang rasanya kw tersebut lantas memercikan api dan membakar tembok. tengah malam pukul tiga pagi, aku pernah mendapati meteran listrik mengeluarkan api yang membara-bara, ku dapati ayahku berlari untuk memadamkannya, aku panik dan ibuku terus melafal doa...aku tidak ingat di mana kedua kakakku berada, yang jelas katanya ada korsleting, aku tak tahu pasti...yang jelas pagi di rumah kami gelap gulita, semua lampu padam, padahal rumah tetangga terlihat begitu terang dengan lampu yang meneranginya. 

 ketakukan terbesarku perlahan menghilang, tapi tahun-tahun yang lalu aku menyadari bahwa aku mencarimu di setiap orang sekarang hatiku dipe...