Saturday, August 08, 2020

tentang nanti dan (mungkin) nanti


Sejak beberapa bulan terakhir kata "nanti" menjadi begitu sering kita dengar, ia selalu terlibat dalam satu percakapan ke percakapan lainnya, menjadi penghubung (atau justru jadi penghalang, entah) tiap kalimat pada dialog kita

"Iya nanti ya ketemu, kalau udah selesai semua", 
"Liat ntar yak (lihat nanti yah)", 
"Iya nanti habis pandemi ya", lalu tersenyum getir. 

Dulu waktu saya kecil saya selalu percaya nanti itu sebuah kata pasti atau setidaknya 99 persen akan terwujud—tapi makin ke sini "nanti" terlihat semakin mengerikan. Nanti menjadi abu-abu. Nanti seolah menegaskan ketidakpastian, entah masih ada hari esok atau tidak, entah masih ada waktu untuk berjumpa atau mungkin—seseorang sudah sampai di perhentiannya. 
Nanti yang jadi selamanya, nanti yang tak kamu kira-kira. 
Nanti yang akan ku doakan—semoga ia setidaknya manis, merekah. Lebih baik lagi merona bersama kabar baiknya. Iya semoga.
 

No comments:

Post a Comment

 ketakukan terbesarku perlahan menghilang, tapi tahun-tahun yang lalu aku menyadari bahwa aku mencarimu di setiap orang sekarang hatiku dipe...